Minggu, 02 Juni 2013

BAB I
PENDAHULUAN

Islam adalah agama yang sempurna. Allah SWT mengatur hubungan antara manusia dengan Allah (habl min-Allah) dan hubungan antara sesama manusia dalam rangka menegakkan hablun min al-nas, yang keduanya merupakan misi kehidupan manusia yang diciptakan sebagai khalifah di atas bumi. Hubungan antara sesama manusia itu bernilai ibadah pula bila dilaksanakan sesuai dengan petunjuk Allah yang diuraikan dalam kitab fiqh.
Hubungan antara sesama manusia berkaitan dengan harta, dibicarakan dan diatur dalam kitab-kitab fiqh karena kecenderungan manusia pada harta itu begitu besar dan menimbulkan persengketaan sesamanya. Disamping itu, penggunaan harta dapat bernilai ibadah bila digunakan sesuai dengan aturan Allah.

BAB II
PEMBAHASAN

1. Muamalah

A. Pengertian Muamalah

Dari segi bahasa, muamalah berasal dari kata aamala, yuamilu, muamalat yang berarti perlakuan atau tindakan terhadap orang lain, hubungan kepentingan. Kata-kata semacam ini adalah kata kerja aktif yang harus mempunyai dua buah pelaku, yang satu terhadap yang lain saling melakukan pekerjaan secara aktif, sehingga kedua pelaku tersebut saling menderita dari satu terhadap yang lainnya.

Pengertian Muamalah dari segi istilah dapat diartikan dengan arti yang luas dan dapat pula dengan arti yang sempit. Di bawah ini dikemukakan beberapa pengertian muamlah.Menurut Louis Ma’luf, pengertian muamalah adalah hukum-hukum syara yang berkaitan dengan urusan dunia, dan kehidupan manusia, seperti jual beli, perdagangan, dan lain sebagainya. Sedangkan menurut Ahmad Ibrahim Bek, menyatakan muamalah adalah peraturan-peraturan mengenai tiap yang berhubungan dengan urusan dunia, seperti perdagangan dan semua mengenai kebendaan, perkawinan, thalak, sanksi-sanksi, peradilan dan yang berhubungan dengan manajemen perkantoran, baik umum ataupun khusus, yang telah ditetapkan dasar-dasarnya secara umum atau global dan terperinci untuk dijadikan petunjuk bagi manusia dalam bertukar manfaat di antara mereka.
Sedangkan dalam arti yang sempit adalah pengertian muamalah yaitu muamalah adalah semua transaksi atau perjanjian yang dilakukan oleh manusia dalam hal tukar menukar manfaat.


Dari berbagai pengertian muamalah tersebut, dipahami bahwa muamalah adalah segala peraturan yang mengatur hubungan antara sesama manusia, baik yang seagama maupun tidak seagama, antara manusia dengan kehidupannya, dan antara manusia dengan alam sekitarnya.

2. Syirkah

A. Pengertian Syirkah

            Syirkah menurut bahasa berarti al-ikhtilath yang artinya campur atau percampuran, percampuran dalam hal ini adalah percampuran salah satu dari dua harta dengan harta lainnya tanpa dapat dibedakan antara keduanya. Secara istilah adalah kerjasama untuk mendayagunakan (tasarruf) harta yang dimiliki dua orang secara bersama-sama oleh keduanya  yakni keduanya, namun masing-masing memiliki hak untuk tasarruf.
Pengertian syirkah menurut bahasa dan para ulama fuqaha, kiranya dapat dipahami bahwa maksudnya adalah kerjasama antara dua orang atau lebih dalam berusaha, yang keuntungan dan kerugiannya.

Adapun yang dasar hukum syirkah oleh para ulama sebagai berikut :


فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ (١٢)

Artinya : Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris)[274]. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.

Dalam hadits Nabi SAW :

اناثالث الشريكين مالم يخن احدهما صاحبه فاذا خانه خرجت من بينهما (رواه ابوداود)

Artinya : Allah taala berfirman, Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selagi masing-masing dari keduanya tidak menghianatinya yang lain, aku keluar dari keduanya. (HR Abu Dawud).
B. Macam-macam Syirkah

Syirkah terbagi dua macam : yaitu syirkah milk dan uqud.

Syirkah milk adalah kerjasama dua orang atau lebih yang memiliki barang tanpa adanya akad syirkah yang meliputi dua macam yaitu syirkah milk ikhtiyar dan syirkah milk al-jabr.Syirkah milk ikhtiyar berarti kerjasama yang muncul karena adanya kontrak antara orang yang bersekutu. Semisal jika dua orang membeli dan keduanya menerima maka jadilah pembeli dan yang diberi wasiat bersekutu diantara keduanya kerjasama milik.Syirkah milk al-jabr berarti kerjasama yang bukan didasarkan atas perbuatan keduanya, misal dua orang mewariskan sesuatu, maka yang diberi warisan adalah menjadi sekutu mereka.

Sirkah uqud adalah transaksi yang terjadi antara dua orang atau lebih bersekutu dalam harta dan keuntungannya dan sirkah uqud terbagi dalam beberapa jenis yaitu sirkah inan, mufawwadah, wuju, dan abdan.Sirkah inan merupakan kerjasama antara dua orang dalam harta untuk berdagang secara bersama-sama dan membagi laba atau kerugian bersama-sama.Sirkah Mufawwadah merupakan kerjasama dengan cara memiliki kesamaan dalam nominal modal, sharing keuntungan, pengolahan, dan agama yang dianut.Sirkah Wujuh merupakan kerjasama dua pemimpin yang tidak memiliki modal dalam usaha membeli barang dengan cara tidak tunai, dan akan menjualnya secara tunai ( cash ). Kemudian dibagi diantara mereka dengan kondisi dan syarat tertentu. Namun beberapa ulama melarang pola seperti ini, karena rentan penipuan.
Syirkah Abdan merupakan kerjasama untuk menerima pekerjaan dan akan dikerjakan secara bersama-sama, lalu keuntungan dibagi diantara keduanya dengan menetapkan syarat tertentu.

 

C. Rukun dan Syarat Syirkah

 Dalam perspektif syirkah :
a. Benda yang diakadkan harus dapat diterima sebagai perwalian.
b. Terkait keuntungan pembagiannya harus jelas dan dapat diketahui dua pihak.
Dalam perspektif syirkah mal :
a. Modal yang dijadikan objek akad syirkah adalah uang
b. Modal ada ketika akad syirkah dilakukan
Dalam perspektif syirkah mufawwadah :
a. Modal ( pokok harta ) harus sama
b. Bagi yang bersyirkah ahli untuk kafalah
c. Objek akad disyariahkan umum, pada semua macam juaal beli atau perdagangan.





3. MUDHARABAH

A.    Pengertian Mudharabah

Kata mudharabah berasal dari kata dharb ( ضرب ) yang berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini maksudnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha. Suatu kontrak disebut mudharabah, karena pekerja (mudharib) biasanya membutuhkan suatu perjalanan untuk menjalankan bisnis. Sedangkan  perjalanan dalam bahasa Arab disebut juga dharb fil Ardhi (فِي الْأَرْض ضرب ِ).
Dalam bahasa Iraq (penduduk Iraq) menamakannya mudharabah, sedangkan penduduk Hijaz menyebutnya qiradh. Qiradh berasal dari kata al-qardhu, yang berarti al-qath’u (potongan) karena pemilik memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungannya.
Mudharabah atau qiradh termasuk dalam kategori syirkah. Di dalam Al-Quran, kata mudharabah tidak disebutkan secara jelas dengan istilah mudharabah. Al-Quran hanya menyebutkannya secara musytaq dari kata dharaba yang terdapat sebanyak 58 kali. Beberapa ulama memberikan pengertian mudharabah atau qiradh sebagai berikut:
a)      Menurut para fuqaha, mudharabah ialah akad antara dua pihak (orang) saling menanggung, salah satu pihak menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk diperdagangkan dengan bagian yang telah ditentukan dari keuntungan, seperti setengah atau sepertiga dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.
b)      Menurut Hanafiyah, mudharabah adalah “Akad syirkah dalam laba, satu pihak pemilik harta dan pihak lain pemilik jasa”.
c)      Malikiyah berpendapat bahwa mudharabah adalah: ”Akad perwakilan, di mana pemilik harta mengeluarkan hartanya kepada yang lain untuk diperdagangkan dengan pembayaran yang ditentukan (mas dan perak)”.
d)     Imam Hanabilah berpendapat bahwa Mudharabah adalah: ”Ibarat pemilik harta menyerahakan hartanya dengan ukuran tertentu kepada orang yang berdagang dengan bagian dari keuntungan yang diketahui”.
e)      Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa Mudharabah adalah: ” Akad yang menentukan seseorang menyerahakan hartanya kepada orang lain untuk ditijarahkan”.
f)       Syaikh Syihab al-Din al-Qalyubi dan Umairah berpendapat bahwa mudharabah ialah: “Seseorang menyerahkan harta kepada yang lain untuk ditijarhakan dan keuntungan bersama-sama.”
g)      Al-Bakri Ibn al-Arif Billah al-Sayyid Muhammad Syata berpendapat bahwa Mudharabah ialah: “Seseorang memberikan masalahnya kepada yang lain dan di dalmnya diterima penggantian.”
h)      Sayyid Sabiq berpendapat, Mudharabah ialah “akad antara dua belah pihak untuk salah satu pihak mengeluarkan sejumlah uang untuk diperdagangkan dengan syarat keuntungan dibagi dua sesuai dengan perjanjian”.
i)        Menurut Imam Taqiyuddin, mudharabah ialah ”Akad keuangan untuk dikelola dikerjakan dengan perdagangan.”

Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama adalah  pemilik modal (shahibul maal), sedangkan  pihak lainnya menjadi  pengelola modal (mudharib), dengan syarat bahwa hasil keuntungan yang diperoleh akan dibagi untuk kedua belah pihak sesuai dengan kesepakatan bersama (nisbah yang telah disepakati), namun bila terjadi kerugian akan ditanggung shahibul maal.










Skema Mudharabah
 




مضارب


صاحب المال

                                                             Modal 100%

 



                                                            Bagi Hasil + Modal

B.     Dasar Hukum
·         Dalil Qur’an
“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, Maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai Balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. dan mohonlah ampunan kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Al-Muzzammil [73]: 20)




Kata yang menjadi wajhud-dilalah atau argument dari ayat di atas adalah yadhribun yang sama dengan akar kata mudharabah yang berarti melakukan suatu perjalanan usaha.
                                                    
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat (selesai wuquf), berdzikirlah kepada Allah di Masy'aril Haram dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan Sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat”. [Al-Baqarah (2): 198]

·         Dalil Hadist

كَانَ سَيِّدُنَا الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَلِّبِ إِذَا دَفَعَ الْمَالَ مُضَارَبَة اِشْتَرَطَ عَلَى صَاحِبِهِ أَنْ لاَ يَسْلُكَ بِهِ بَحْرًا، وَلاَ يَنْزِلَ بِهِ وَادِيًا، وَلاَ يَشْتَرِيَ بِهِ دَابَّةً ذَاتَ كَبِدٍ رَطْبَةٍ، فَإِنْ فَعَلَ ذَلِكَ ضَمِنَ، فَبَلَغَ شَرْطُهُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَأَجَازَهُ (رواه الطبراني فى الأوسط عن ابن عباس).

”Adalah Abbas bin Abdul Muththalib, apabila ia menyerahkan sejumlah harta dalam investasi mudharabah, maka ia membuat syarat kepada mudharib, agar harta itu tidak dibawa melewati lautan, tidak menuruni lembah dan tidak dibelikan kepada binatang,  Jika mudharib melanggar syarat2 tersebut, maka ia bertanggung jawab menanggung risiko. Syarat-syarat yang diajukan Abbas tersebut sampai kepada Rasulullah Saw, lalu Rasul membenarkannya”.(HR ath_Thabrani). Hadist ini menjelaskan praktek mudharabah muqayyadah.



ثلاثة  فيهن  البركة : المقارضة والبيع الى اجل وخلط البر  باالشعير للبيت لا للبيع(ابن ماجه)

“Tiga macam mendapat barakah: muqaradhah/ mudharabah, jual beli secara tangguh,  mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah bukan untuk dijual”.  (HR.Ibnu Majah).

عن عبد الله و عبيد الله ابني عمر أنهما لقيا  أبو موسى ألأشعري باالبصرة  منصرفهما من غزوة  نهاوند فتسلفا  منه مالا  وابتاعا منه متاعا و قدما به  المدينة  فباعاه و ربحا فيه  و أراد عمر أخذ رأس المال  الربح  كله  فقالا لو كان تلف  كان ضمنه علينا فكيف لا يكون الربح لنا  فقال رجل يا أمير المؤمنين  لو جعلته قراضا  فقال قد جعلته قراضا  وأخذ منهما نصف الربح (أخرجه مالك )

Dari Abdullah dan ‘Ubaidullah, keduanya anak Umar, bahwa keduanya bertemu dengan Abu Musa Al-Asy’ary di Basrah, setelah pulang dari perang Nahawand. Keduanya menerima harta dari Abu Musa untuk dibawa ke Madinah (ibu kota). Di perjalanan keduanya membeli harta benda perhiasan, lalu menjualnya di Madinah, sehingga keduanya mendapat keuntungan. Umar memutuskan untuk mengambil modal dan keuntungan semuanya. Tetapi kedua anaknya berkata,”Jika harta itu binasa, bukankah kami yang bertanggung jawab menggantinya. Bagaimana mungkin tak ada keuntungan untuk kami?”. Maka berkata seseorang kepada Umar,“Wahai Amirul Mukminin, alangkah baiknya jika engkau jadikan harta itu sebagai qiradh”. Umar pun menerima usulan itu. Umar berkata,”Aku menjadikannya qiradh”. Umar mengambil separoh dari keuntungan (50 % untuk Baitul Mal dan 50% untuk kedua anaknya).

            Mudharabah menurut Ibn Hajar telah ada sejak zaman Rasulullah, beliau mengetahui dan mengakuinya. Bahkan sebelum diangkat menjadi Rasul, Muhammad telah melakukan Qiradh/ mudharabah. Muhammad mengadakan perjalanan ke Syam untuk menjual barang-barang milik Khadijah r.a yang kemudian menjadi istri beliau.




            Disamping dalil Qur’an dan dalil Hadist di atas, para ulama juga berlandaskan pada praktik mudharabah yang dilakukan sebagian sahabat, sedangkan sahabat lain tidak membantahnya. Bahkan harta yang dilakukan secara mudharabah itu di zaman mereka kebanyakan adalah harta anak yatim. Oleh sebab itu berdasarkan dalil Qur’an, Hadist, dan praktik para sahabat, para ulama fiqih menetapkan bahwa akad mudharabah apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya maka hukumnya adalah boleh.

C.     Rukun dan Syarat Mudharabah
Rukun dan syarat-syarat sah mudharabah adalah sebagai berikut:
1.      Adanya dua pelaku atau lebih, yaitu investor (pemilik modal) dan pengelola (mudharib). Kedua belah pihak yang melakukan akad disyaratkan mampu melakukan tasharruf atau cakap hukum, maka dibatalkan akad anak-anak yang masih kecil, orang gila, dan orang-orang yang berada di bawah pengampuan.
2.      Modal atau harta pokok (mal), syarat-syaratnya yakni:
A.    Berbentuk uang
ayoritas ulama berpendapat bahwa modal harus berupa uang dan tidak boleh barang. Mudharabah dengan barang dapat menimbulkan kesamaran, karena barang pada umumnya bersifat fluktuatif. Apabila barang itu bersifat tidak fluktuatif seperti berbentuk emas atau perak batangan (tabar), para ulama berbeda pendapat. Imam malik dalam hal ini tidak tegas melarang atau membolehkan. Namun para ulama mazhab Hanafi membolehkannya dan nilai barang yang dijadikan setoran modal harus disepakati pada saat akad oleh mudharib dan shahibul mal.

Contohnya, seorang memiliki sebuah mobil yang akan diserahkan kepada mudharib (pengelola modal). Ketika akad kerja sama tersebut disepakati, maka mobal tersebut wajib ditentukan nilai mata uang saat itu, misalnya Rp90.000.000, maka modal mudharabah tersebut adalah Rp90.000.000.



B.     Jelas jumlah dan jenisnya
Jumlah modal harus diketahui dengan jelas agar dapat dibedakan antara modal yang diperdagangkan dengan laba atau keuntungan dari perdagangan tersebut yang akan dibagikan kepada dua belah pihak sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.

C.     Tunai
Hutang tidak dapat dijadikan modal mudharabah. Tanpa adanya setoran modal, berarti shahibul mal tidak memberikan kontribusi apapun padahal mudharib telah bekerja. Para ulama syafi’i dan Maliki melarang hal itu karena merusak sahnya akad. Selain itu hal ini bisa membuka pintu perbuatan riba, yaitu memberi tangguh kepada si berhutang yang belum mampu membayar hutangnya dengan kompensasi si berpiutang mendapatkan imbalan tertentu. Dalam hal ini para ulama fiqih tidak berbeda pendapat.

D.    Modal diserahkan sepenuhnya kepada pengelola secara langsung.
Apabila tidak diserahkan kepada mudharib secara langsung dan tidak diserahkan sepenuhnya (berangsur-angsur) dikhawatirkan akan terjadi kerusakan pada modal, yaitu penundaan yang dapat mengganggu waktu mulai bekerja dan akibat yang lebih jauh mengurangi kerjanya secara maksimal. Apabila modal itu tetap dipegang sebagiannya oleh pemilik modal, dalam artian tidak diserahkan sepenuhnya, maka menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah, akad mudharabah tidak sah. Sedangkan ulama Hanabilah menyatakan boleh saja sebagian modal itu berada di tangan pemilik modal, asal tidak mengganggu kelancaran usahanya.






3.      Keuntungan, syarat-syaratnya yakni:
A. Proporsi jelas. Keuntungan yang akan menjadi milik pengelola dan pemilik modal harus jelas persentasenya, seperti 60% : 40%, 50% : 50% dan sebagainya menurut kesepakatan bersama.
B. Keuntungan harus dibagi untuk kedua belah pihak, yaitu investor (pemilik modal) dan pengelola (mudharib).
C. Break Even Point (BEP) harus jelas, karena BEP menggunakan sistem revenue sharing dengan profit sharing berbeda. Revenue sharing adalah pembagian keuntungan yang dilakukan sebelum dipotong biaya operasional, sehingga bagi hasil dihitung dari keuntungan kotor/ pendapatan. Sedangkan profit sharing adalah pembagian keuntungan dilakukan setelah dipotong biaya operasional, sehingga bagi hasil dihitung dari keuntungan bersih.

4.      Ijab Qobul. Melafazkan ijab dari pemilik modal, misalnya aku serahkan uang ini kepadamu untuk dagang jika ada keuntungan akan dibagi dua dan kabul dari pengelola.

4. Murabahah
1.        Pengertian Murabahah
Kata Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu (الرِبْحُ) yang berarti kelebihan dan tambahan (keuntungan). Sedangkan menurut istilahMurabahah adalah salah satu bentuk jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam pengertian lain Murabahah adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Pembayaran atas akad jual beliMurabahah dapat dilakukan secara tunai maupun kredit. Hal inilah yang membedakan Murabahah dengan jual beli lainnya adalah penjual harus memberitahukan kepada pembeli harga barang pokok yang dijualnya serta jumlah keuntungan yang diperoleh.




2.        Landasan Syariah Murabahah
a.      Al-Qur’an
Firman Allah QS. An-Nissa’ : 29

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.”
           
            Firman Allah QS. Al-Baqarah : 275

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

Artinya :
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”

b.      Al-Hadits
Dari Abu Sa'id Al-Khudri bahwa Rasullulah Saw bersabda:
“Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka.” (HR. al-Baihaqi, Ibnu Majah dan Shahi menurut Ibnu Hibban)

Dari Suhaib  ar-Rumi r.a bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh,muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah)

3.        Rukun dan Syarat Murabahah
Rukun Murabahah yaitu :
a.         Transaktor (pihak yang bertransaksi).
b.        Obyek murabahah.
c.         Ijab dan kabul.

Syarat Murabahah yaitu :
a.         Penjual memberitahu biaya modal kepada nasabah.
b.        Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan.
c.         Kontrak harus bebas riba.
d.        Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian.
e.         Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya: jika pembelian dilakukan secara utang. Jadi di sini terlihat adanya unsur keterbukaan.

Secara prinsip, jika syarat dalam (a), (d) dan (e) tidak dipenuhi, pembeli memiliki pilihan :
a.        Melanjutkan pilihan seperti apa adanya.
b.        Kembali kepada penjual dan menyatakan ketidaksetujuan atas barang yang dijual.
c.        Membatalkan kontrak.

4.        Konsep Murabahah dalam Perbankan Syariah

a. Pengertian dan Makna

Dalam daftar istilah himpunan fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional) dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan murabahah adalah menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba.
Murabahah merupakan bagian terpenting dari jual beli dan prinsip akad ini mendominasi pendapatan bank dari produk-produk yang ada di semua bank Islam. Dalam Islam, jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama umat manusia yang diridhai oleh Allah Swt.
Jual beli Murabahah yang dilakukan lembaga keuangan syariah dikenal dengan nama-nama sebagai berikut:
1.                  al-Murabahah lil Aamir bi Asy-Syira’.
2.                  al-Murabahah lil Wa’id bi Asy-Syira’.
3.                  Bai’ al-Muwa’adah.
4.                  al-Murabahah al-Mashrafiyah.
5.                  al-Muwaa’adah ‘Ala al-Murabahah.
Sedangkan di negara Indonesia dikenal dengan jual beli Murabahah atauMurabahah Kepada Pemesanan Pembelian (KPP).

b. Manfaat Murabahah kepada Perbankan Syariah

Sesuai dengan sifat bisnis (tijarah), transaksi Murabahah memiliki beberapa manfaat, demikian juga resiko yang harus diantisipasi.
Murabahah memberi banyak manfaat kepada bank syariah. Salah satunya adalah adanya keuntungan yang muncul dari selisih harga beli dari penjual dengan harga jual kepada nasabah. Selain itu, sistem Murabahah juga sangat sederhana. Hal tersebut memudahkan penanganan administrasinya di bank syariah.



Diantara resiko yang harus diantisipasi antara lain sebagai berikut :
a.       Default atau kelalaian; nasabah sengaja tidak membayar angsuran.
b.      Fluktuasi harga komparatif. Ini terjadi bila harga suatu barang di pasar naik setelah bank membelikannya untuk nasabah. Bank tidak bisa mengubah harga jual beli tersebut.
c.       Penolakan nasabah; barang yang dikirim bisa saja ditolak oleh nasabah karena berbagai sebab. Bisa jadi karena rusak dalam perjalanan sehingga nasabah tidak mau menerimanya. Karena itu sebaiknya dilindungi dengan asuransi. Kemungkinan lain karena nasabah merasa spesifikasi barang tersebut berbeda dengan yang ia pesan. Bila bank telah menandatangani kontrak pembelian dengan penjualnya, barang tersebut akan menjadi milik bank. Dengan demikian, bank mempunyai resiko untuk menjualnya kepada pihak lain.
d.      Dijual; karena Murabahah bersifat jual beli dengan utang, maka ketika kontrak ditandatangani, barang itu menjadi milik nasabah. Nasabah bebas melakukan apapun terhadap aset miliknya tersebut, termasuk untuk menjualnya. Jika demikian, resiko untuk default akan besar.

Secara umum, aplikasi perbankan dari Murabahah dapat digambarkan dalam skema berikut ini :
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa jual beli murabahah KPP ini terdiri dari:
1.        Ada tiga pihak yang terkait yaitu:
a.    Pemohon atau pemesan barang dan ia adalah pembeli barang dari lembaga keuangan.
b.    Penjual barang kepada lembaga keuangan.
c.    Lembaga keuangan yang memberi barang sekaligus penjual barang kepada pemohon atau pemesan barang.
2.        Ada dua akad transaksi yaitu:
a.    Akad dari penjual barang kepada lembaga keuangan.
b.    Akad dari lembaga keuangan kepada pihak yang minta dibelikan (pemohon).

3.        Ada tiga janji yaitu:
a.    Janji dari lembaga keuangan untuk membeli barang.
b.    Janji mengikat dari lembaga keuangan untuk membali barang untuk pemohon.
c.    Janji mengikat dari pemohon (nasabah) untuk membeli barang tersebut dari lembaga keuangan.




5. Muzara’ah dan Mukhabarah

A.    Pengertian Muzara’ah dan Mukhabarah

Dalam bahasa Indonesia arti dari muzara’ah dan mukhabarah adalah pertanian. Menurut Taqiyyudin yang mengungkap pendapat Al-Qadhi Abu Thayib, muzara’ah dan mukhabarah mempunyai satu pengertian. Walaupun mempunyai satu pengertian tetapi kedua istilah tersebut mempunyai dua arti yang pertamatharh al-zur’ah (melemparkan tanaman), maksudnya adalah modal (al-hadzar ).Makna yang pertama adalah makna yang majaz dan makna yan kedua adalah makna yang hakiki.
Muzara’ah dan mukhabarah memiliki makna yang berbeda, pendapat tersebut dikemukakan oleh al-Rafi dan al-Nawawi. Sedangkan menurut istilah definisi para ulama yang dikemukakan oleh Abd al-Rahman al-Zaziri pun berbeda Secara terminologi, terdapat beberapa definisi para ulama, menurut ulama Malikiyah berarti perserikatan dalam pertanian, ulama Hanabilah mengartikannya sebagai penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk digarap dan hasilnya dibagi berdua (paroan). Sedangkan Imam Syafi’I mendifinisikannya sebagai pengolahan tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian disediakan penggarap tanah 2 atau lebih dikenal dengan istilah al-Mukhabarah. Sehingga dapat disimpulkan bahawa arti dari Muzara’ah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah.
Mukhabarah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan.
Seperti yang telah disebutkan bahwa munculnya pengertian muzara’ah dan mukhabarah dengan ta’rif yang berbeda tersebut karena adanya ulama yang membedakan antara arti muzara’ah dan mukhabarah, yaitu Imam Rafi’I berdasar dhahir nash Imam Syafi’i. Sedangkan ulama yang menyamakan ta’rif muzara’ah dan mukhabarah diantaranya Nawawi, Qadhi Abu Thayyib, Imam Jauhari, Al Bandaniji. Mengartikan sama dengan memberi ketetntuan: usaha mengerjakan tanah (orang lain) yang hasilnya dibagi.

B.     Dasar Hukum Muzara’ah dan Mukhabarah

Dasar hukum yang digunakan para ulama dalam menetapkan hukum mukhabarah dan muzara’ah adalah sebuah hadist yang diriwayatkan olehBukhari dan Muslim dari Abu Abbas ra.
Artinya:
“ sesungguhnya Nabi SAW. Menyatakan, bahwa beliau tidak mengharamkan bermuzara’ah, bahkan beliau menyuruhnya supaya yang sebagian menyayangi sebagian yang lain, dengan katanya, barang siapa yang memiliki tanah maka hendaklah ditanaminya atau diberikan faedahnya kepada saudaranya, bila ia tidak mau maka boleh ditahan saja tanah itu.

عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيْجِ قَالَ كُنَّااَكْثَرَاْلاَنْصَارِ حَقْلاً فَكُنَّا نُكْرِىاْلاَرْضَ عَلَى اَنَّ لَنَا هَذِهِ فَرُبَمَا أَخْرَجَتْ هَذِهِ وَلَمْ تُخْرِجْ هَذِهِ فَنَهَانَاعَنْ ذَلِكَ

Artinya :
Berkata Rafi’ bin Khadij: “Diantara Anshar yang paling banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian tanah untuk mereka yang mengerjakannya, kadang sebagian tanah itu berhasil baik dan yang lain tidak berhasil, maka oleh karenanya Raulullah SAW. Melarang paroan dengan cara demikian (H.R. Bukhari)

عَنْ اِبْنِ عُمَرَاَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَرْطِ مَايَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ اَوْزَرْعٍ (رواه مسلم)
Artinya:
Dari Ibnu Umar: “Sesungguhna Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun (palawija)” (H.R Muslim)
Menurut Al-Syafi’iyah, haram hukumnya melakukan muzara’ah ia beralasan dengan hadis sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim dari Tsabit Ibn al-Dhahak
Artinya:
“Bahwa Rasulullah Saw, telah melarang bermuzara’ah dan memerintahkan sewa menyewa dan Rasulullah Saw bersabda itu tidak mengapa.”
            Diriwayatkan oleh Muslim dan Thawus ra.
Artinya:
“ sesungguhnya Thawus ra. Bermukhabarah, Umar ra. Berkata; dan aku berkata kepadanya; ya Abdurahman, kalau engkau tinggalkan mukhabarah ini, nanti mereka mengatakan bahwa Nabi melarangnya. Kemudian Thawus berkata; telah menceritakan kepadaku orang yang sungguh – sungguh mengetahui hal itu, yaitu Ibnu Abbas, bahwa Nabi SAW, tidak melarang mukhabarah, hanya beliau berkata bila seseorang memberi menfaat kepada saudaranya, hal itu lebih baik daripada mengambil manfaat dari saudaranya dengan yang telah dimaklumi.”


Menurut pengarang kitab Al-minhaj, bahwa Mukhabarah yaitu mengerjakan tanah ( menggarap ladang atau sawah ) dengan mengambil sebagian dari hasilnya, sedangkan benihnya dari pekerja dan tidak boleh pula bermuzaraah, yaitu mengelola tanah yang benihnya dari pengolaan tanah. Pendapat ini beralasan kepada beberapa hadis shahih, antara lain hadis dari Tsabit bin Dhahak.
Demikian dikemukakan dasar hukum muzaraah dan mukhabarah, diketahui pula pendapat para ulama, ada yang mengharamkan kedua-duanya, seperti pengarang kitab Al-Manhaj. Ada yang mengharamkan muzaraah saja, seperti al-syafi’I berpendapat bahwa akad al-muzara’ah sah apabila muzara’ah mengikut kepada akad musaqah. Misalnya, apabila terjadi akad musaqah
pengelolaan perkebunan dengan pengairan, kemudian ada tanah kosong diantara
pepohonan yang tidak mungkin tidak akan terkena pengairan dari musaqah atau tanah kosong di salah satu sudut area tanah itu, maka tanah itu boleh dimanfaatkan untuk muzara’ah, artinya akad al-muzara’ah ini tidak berdiri sendiri tetapi mengikut pada akad musaqah, bila tidak demikian maka akad al-muzara’ah tidak boleh. Berdasarkan beberapa hadits di atas  ada ulama melarang paroan tanah ataupun ladang beralasan pada Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari tersebut di atas ulama yang lain berpendapat tidak ada larangan untuk melakukan muzara’ah ataupun mukhabarah. Pendapat ini dikuatkan oleh Nawawi, Ibnu Mundzir, dan Khatabbi, mereka mengambil alsan Hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di atas, adapun Hadits yang melarang tadi maksudnya hanya apabila ditentukan penghasilan dari sebagian tanah, mesti kepunyaan salah seorang diantara mereka. Karena memang kejadian di masa dahulu, mereka memarohkan tanah dengan syarat dia akan mengambil penghasilan dari sebagian tanah yang lebih subur keadaan inilah yang dilarang oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam Hadits yang melarang itu, karena pekerjaan demikian bukanlah dengan cara adil dan insaf. Juga pendapat ini dikuatkan orang banyak.

C.    Rukun-rukun dan Syarat-syaratnya

Rukun muzara’ah menurut Hanafiah ialah akad, yaitu ijab dan qabul antara pemilik dan pekerja. Secara rinci rukun muzara’ah menurut Hanafiyah adalah; tanah, perbuatan pekerja, modal dan alat-alat untuk menanam.
Syarat-syaratnya
1.      Syarat yang berkaitan dengan aqidain, yaitu harus berakal
2.      Berkaitan dengan tanaman, yaitu adanya penentuan macam tanaman yang akan ditanam.
3.      Hal yang berkaitan dengan perolehan hasil tanaman
a.       Bagian masing-masing harus disebutkan jumlahnya.
b.      Hasil adalah milik bersama
c.       Bagian amil dan malik adalah dari satu jenis barang yang sama.
d.      Bagian kedua belah pihak sudah dapat diketahui
e.       Tidak diisyaratkan bagi salah satu penambahan yang ma’lum
4.      Hal yang berkaitan dengan tanah yang akan ditanami
a.       Tanah tersebut dapat ditanami
b.      Tanah tersebut dapat diketahui batas-batasnya
5.      Hal yang berkaitan dengan waktu
a.       Waktunya telah ditentukan
b.      Waktu tersebut memungkinkan untuk menanam tanaman yang dimaksud.
6.      Hal yang berkaitan dengan peralatan yang akan digunakan untuk menanam, alat-alat tersebut disyaratkan berupa hewan atau yang lainnya dibebankan pada pemilik tanah.

D.    Berakhirnya Akad Al-Muzara’ah
Penulis alawahir berkata,“Akad muzara’ah bersifat mengikat, menurut ijma’, berdasarkan kaidah luzum (kemengikatan) yang diambil dari (Qs. Maidah ayat:1)
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.
Oleh karena itu, akadnya tidak akan gugur kecuali dengan taqayul (saling melepaskan diri dari akad) atau dengan persyaratan khiya, atau jika tanah sudah tidak produktif lagi. Akad muzara’ah tidak akan gugur dengan kematian salah satu dari kedua pelaku akad, sebagaimana  akad-akad lain yang bersifat mengikat. Jika pemilik tanah atau pekerja meninggal, maka ahli warisnya yang menggantikan.   


A. Pengertian Musaqah

Musaqah diambil dari kata al-saqaa yaitu seseorang bekerja pada pohon tamar, anggur (mengurusnya), atau pohon-pohon yang lainnya supaya mendatangkan kemaslahatan dan mendapatkan bagian tertentu dari hasil yang diurus sebagai imbalan.
Musaqah (pengairan) adalah sejenis syirkah (kerja sama) untuk memperpleh hasil pohon, yaitu pemilik dan pekerja melakukan akad untuk itu dengan hasil yang dibagi secara musya’ (bersama-sama).



Musaqah  ialah pemilik kebun yang memberikan kebunnya kepada tukang antara keduanya, menurut perjanjian keduanya sewaktu akad.
1.      Rukun dan Syarat Musaqah
Rukun musaqah menurut ulama syafi’iyah ada lima berikut:
1.      Shigat
2.      Dua orang atau pihak yang berakad (al-’aqidani)
3.      Kebun atau semua pohon yang berbuah
4.      Masa kerja, hendaknya ditentukan lama waktu yang akan dikerjakan
5.      Buah, hendaknya ditentukan bagian masing-masing (yang punya kebun dan yang bekerja di kebun).


B. Dasar Hukum Musaqah

Kata “musaqah” tidak perlu digunakan di dalam al-Qur’an maupun Sunnah, menggali hukum-hukumnya dari berbagai nash syariat, kemudian menggunakan istilah “Musaqah” untuk menyebut muamalah ini karena pohon sangat memerlukan air dan pengairan.Akad musaqah bersifat mengikat, maka masing dari kedua pihak tidak dapat memfasahkannya kecuali dengan kesepakatan pihak lain. Penulis al-jawahir berkata, “tidak ada perbedaan pendapat yang aku temukan dalam masalah ini karena akhidah dan dalil umum: aufu bil ‘uqud (penuhilah akad-akad itu)”.

C. Masa berakhirnya Musaqah

Akad musaqah akan berakhir apabila :
a. Telah habis batas waktu yang telah disepakati bersama.
b. Petani penggarap tidak sanggup lagi bekerja.
c. Meninggalnya salah satu dari yang melakukan akad.
D. Hikmah Musaqah

 Dapat terpenuhinya kemakmuran yang merata.
1.      Terciptanya saling memberi manfaat antara kedua belah pihak (si pemilik tanah dan petani penggarap).
2.      Bagi pemilik tanah merasa terbantu karena kebunnya dapat terawat dan menghasilkan.
3.      Disamping itu kesuburan tanahnya juga dapat dipertahankan.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar