BAB I
PENDAHULUAN
Islam adalah
agama yang sempurna. Allah SWT mengatur hubungan antara manusia dengan Allah
(habl min-Allah) dan hubungan antara sesama manusia dalam rangka menegakkan
hablun min al-nas, yang keduanya merupakan misi kehidupan manusia yang
diciptakan sebagai khalifah di atas bumi. Hubungan antara sesama manusia itu
bernilai ibadah pula bila dilaksanakan sesuai dengan petunjuk Allah yang
diuraikan dalam kitab fiqh.
Hubungan
antara sesama manusia berkaitan dengan harta, dibicarakan dan diatur dalam
kitab-kitab fiqh karena kecenderungan manusia pada harta itu begitu besar dan
menimbulkan persengketaan sesamanya. Disamping itu, penggunaan harta dapat
bernilai ibadah bila digunakan sesuai dengan aturan Allah.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Muamalah
A. Pengertian
Muamalah
Dari segi bahasa, muamalah berasal dari kata aamala, yuamilu, muamalat yang berarti perlakuan atau tindakan
terhadap orang lain, hubungan kepentingan. Kata-kata semacam ini adalah kata
kerja aktif yang harus mempunyai dua buah pelaku, yang satu terhadap yang lain
saling melakukan pekerjaan secara aktif, sehingga kedua pelaku tersebut saling
menderita dari satu terhadap yang lainnya.
Pengertian Muamalah dari segi istilah dapat diartikan dengan arti
yang luas dan dapat pula dengan arti yang sempit. Di bawah ini dikemukakan
beberapa pengertian muamlah.Menurut Louis Ma’luf, pengertian muamalah adalah
hukum-hukum syara yang berkaitan dengan urusan dunia, dan kehidupan manusia,
seperti jual beli, perdagangan, dan lain sebagainya. Sedangkan menurut Ahmad
Ibrahim Bek, menyatakan muamalah adalah peraturan-peraturan mengenai tiap
yang berhubungan dengan urusan dunia, seperti perdagangan dan semua mengenai
kebendaan, perkawinan, thalak, sanksi-sanksi, peradilan dan yang berhubungan
dengan manajemen perkantoran, baik umum ataupun khusus, yang telah ditetapkan
dasar-dasarnya secara umum atau global dan terperinci untuk dijadikan petunjuk
bagi manusia dalam bertukar manfaat di antara mereka.
Sedangkan dalam arti yang sempit
adalah pengertian muamalah yaitu muamalah adalah semua transaksi atau
perjanjian yang dilakukan oleh manusia dalam hal tukar menukar manfaat.
Dari berbagai pengertian muamalah tersebut, dipahami bahwa
muamalah adalah segala peraturan yang mengatur hubungan antara sesama manusia,
baik yang seagama maupun tidak seagama, antara manusia dengan kehidupannya, dan
antara manusia dengan alam sekitarnya.
2. Syirkah
A. Pengertian Syirkah
Syirkah
menurut bahasa berarti al-ikhtilath yang artinya campur atau percampuran, percampuran dalam hal ini adalah percampuran salah satu dari
dua harta dengan harta lainnya tanpa dapat dibedakan antara keduanya. Secara
istilah adalah kerjasama untuk mendayagunakan (tasarruf) harta yang dimiliki
dua orang secara bersama-sama oleh keduanya yakni keduanya, namun
masing-masing memiliki hak untuk tasarruf.
Pengertian syirkah menurut bahasa dan para
ulama fuqaha, kiranya dapat dipahami bahwa maksudnya adalah kerjasama antara
dua orang atau lebih dalam berusaha, yang keuntungan dan kerugiannya.
Adapun yang dasar hukum syirkah oleh para ulama sebagai berikut
:
فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي
الثُّلُثِ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ
وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ (١٢)
Artinya : Tetapi jika saudara-saudara seibu
itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah
dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak
memberi mudharat (kepada ahli waris)[274]. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang
benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.
Dalam hadits Nabi SAW :
اناثالث الشريكين مالم يخن احدهما صاحبه فاذا خانه خرجت من بينهما
(رواه ابوداود)
Artinya : Allah taala berfirman, Aku pihak ketiga dari dua orang
yang berserikat selagi masing-masing dari keduanya tidak menghianatinya yang
lain, aku keluar dari keduanya. (HR Abu Dawud).
B. Macam-macam Syirkah
Syirkah terbagi dua macam : yaitu syirkah milk dan uqud.
Syirkah milk
adalah kerjasama dua orang atau lebih yang memiliki barang tanpa adanya akad
syirkah yang meliputi dua macam yaitu syirkah milk ikhtiyar dan syirkah milk
al-jabr.Syirkah milk ikhtiyar berarti kerjasama yang muncul karena adanya
kontrak antara orang yang bersekutu. Semisal jika dua orang membeli dan
keduanya menerima maka jadilah pembeli dan yang diberi wasiat bersekutu
diantara keduanya kerjasama milik.Syirkah milk al-jabr berarti kerjasama yang
bukan didasarkan atas perbuatan keduanya, misal dua orang mewariskan sesuatu,
maka yang diberi warisan adalah menjadi sekutu mereka.
Sirkah uqud
adalah transaksi yang terjadi antara dua orang atau lebih bersekutu dalam harta
dan keuntungannya dan sirkah uqud terbagi dalam beberapa jenis yaitu sirkah
inan, mufawwadah, wuju, dan abdan.Sirkah inan merupakan kerjasama antara dua
orang dalam harta untuk berdagang secara bersama-sama dan membagi laba atau
kerugian bersama-sama.Sirkah Mufawwadah merupakan kerjasama dengan cara
memiliki kesamaan dalam nominal modal, sharing keuntungan, pengolahan, dan
agama yang dianut.Sirkah Wujuh merupakan kerjasama dua pemimpin yang tidak
memiliki modal dalam usaha membeli barang dengan cara tidak tunai, dan akan
menjualnya secara tunai ( cash ). Kemudian dibagi diantara mereka
dengan kondisi dan syarat tertentu. Namun beberapa ulama melarang pola seperti
ini, karena rentan penipuan.
Syirkah Abdan merupakan kerjasama untuk menerima pekerjaan dan
akan dikerjakan secara bersama-sama, lalu keuntungan dibagi diantara keduanya
dengan menetapkan syarat tertentu.
C. Rukun dan Syarat Syirkah
Dalam perspektif syirkah :
a. Benda yang diakadkan harus dapat diterima sebagai perwalian.
b. Terkait keuntungan pembagiannya harus jelas dan dapat
diketahui dua pihak.
Dalam perspektif syirkah mal :
a. Modal yang dijadikan objek akad syirkah adalah uang
b. Modal ada ketika akad syirkah dilakukan
Dalam perspektif syirkah
mufawwadah :
a. Modal ( pokok harta ) harus sama
b. Bagi yang bersyirkah ahli untuk kafalah
c. Objek akad disyariahkan umum, pada semua macam juaal beli
atau perdagangan.
3. MUDHARABAH
A.
Pengertian Mudharabah
Kata mudharabah berasal dari kata dharb ( ضرب ) yang berarti memukul atau
berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini maksudnya adalah proses
seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha. Suatu kontrak disebut mudharabah,
karena pekerja (mudharib) biasanya membutuhkan suatu perjalanan untuk menjalankan
bisnis. Sedangkan perjalanan dalam
bahasa Arab disebut juga dharb fil Ardhi (فِي الْأَرْض ضرب ِ).
Dalam bahasa Iraq (penduduk Iraq) menamakannya mudharabah,
sedangkan penduduk Hijaz menyebutnya qiradh. Qiradh berasal dari kata al-qardhu,
yang berarti al-qath’u (potongan) karena pemilik
memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian
keuntungannya.
Mudharabah atau qiradh termasuk dalam kategori syirkah.
Di dalam Al-Quran, kata mudharabah tidak disebutkan secara jelas dengan
istilah mudharabah. Al-Quran hanya menyebutkannya secara musytaq dari
kata dharaba yang terdapat sebanyak 58 kali. Beberapa
ulama memberikan pengertian mudharabah atau qiradh sebagai berikut:
a)
Menurut para fuqaha, mudharabah ialah akad antara dua
pihak (orang) saling menanggung, salah satu pihak menyerahkan hartanya kepada
pihak lain untuk diperdagangkan dengan bagian yang telah ditentukan dari
keuntungan, seperti setengah atau sepertiga dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.
b) Menurut Hanafiyah, mudharabah adalah “Akad syirkah dalam laba, satu pihak pemilik
harta dan pihak lain pemilik jasa”.
c) Malikiyah berpendapat bahwa mudharabah adalah: ”Akad perwakilan, di mana pemilik harta
mengeluarkan hartanya kepada yang lain untuk diperdagangkan dengan pembayaran
yang ditentukan (mas dan perak)”.
d) Imam Hanabilah berpendapat bahwa Mudharabah
adalah: ”Ibarat pemilik harta
menyerahakan hartanya dengan ukuran tertentu kepada orang yang berdagang dengan
bagian dari keuntungan yang diketahui”.
e) Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa Mudharabah
adalah: ” Akad yang menentukan
seseorang menyerahakan hartanya kepada orang lain untuk ditijarahkan”.
f)
Syaikh
Syihab al-Din al-Qalyubi dan Umairah berpendapat bahwa mudharabah ialah:
“Seseorang menyerahkan harta kepada yang lain untuk ditijarhakan dan keuntungan
bersama-sama.”
g)
Al-Bakri
Ibn al-Arif Billah al-Sayyid Muhammad Syata berpendapat bahwa Mudharabah ialah:
“Seseorang memberikan masalahnya kepada yang lain dan di
dalmnya diterima penggantian.”
h) Sayyid Sabiq berpendapat, Mudharabah ialah “akad antara dua belah pihak untuk salah satu
pihak mengeluarkan sejumlah uang untuk diperdagangkan dengan syarat keuntungan
dibagi dua sesuai dengan perjanjian”.
i)
Menurut Imam Taqiyuddin, mudharabah ialah ”Akad keuangan
untuk dikelola dikerjakan dengan perdagangan.”
Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa mudharabah adalah akad kerjasama
usaha antara dua pihak di mana pihak pertama adalah pemilik modal (shahibul maal), sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola modal (mudharib), dengan syarat
bahwa hasil keuntungan yang diperoleh akan dibagi untuk kedua belah pihak sesuai
dengan kesepakatan bersama (nisbah yang telah disepakati), namun bila terjadi
kerugian akan ditanggung shahibul maal.
Skema Mudharabah
مضارب
|
صاحب
المال
|
Bagi
Hasil + Modal
B.
Dasar Hukum
·
Dalil Qur’an
“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri
(sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau
sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu.
dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu
sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, Maka Dia
memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al
Quran. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan
orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah;
dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, Maka bacalah
apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah
zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. dan kebaikan apa
saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di
sisi Allah sebagai Balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya.
dan mohonlah ampunan kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”. (Al-Muzzammil [73]: 20)
Kata yang menjadi wajhud-dilalah
atau argument dari ayat di atas adalah yadhribun yang sama dengan akar
kata mudharabah yang berarti melakukan suatu perjalanan usaha.
“Tidak
ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka
apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat (selesai wuquf), berdzikirlah kepada
Allah di Masy'aril Haram dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana
yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan Sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk
orang-orang yang sesat”. [Al-Baqarah
(2): 198]
·
Dalil Hadist
كَانَ سَيِّدُنَا الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَلِّبِ
إِذَا دَفَعَ الْمَالَ مُضَارَبَة اِشْتَرَطَ عَلَى صَاحِبِهِ
أَنْ لاَ يَسْلُكَ بِهِ بَحْرًا، وَلاَ يَنْزِلَ بِهِ وَادِيًا، وَلاَ
يَشْتَرِيَ بِهِ دَابَّةً ذَاتَ كَبِدٍ رَطْبَةٍ، فَإِنْ
فَعَلَ ذَلِكَ ضَمِنَ، فَبَلَغَ شَرْطُهُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَأَجَازَهُ (رواه الطبراني فى الأوسط عن ابن عباس).
”Adalah Abbas bin Abdul Muththalib, apabila ia
menyerahkan sejumlah harta dalam investasi mudharabah, maka ia membuat syarat
kepada mudharib, agar harta itu tidak dibawa melewati lautan, tidak menuruni lembah dan tidak
dibelikan kepada binatang, Jika mudharib
melanggar syarat2 tersebut, maka ia bertanggung jawab menanggung risiko.
Syarat-syarat yang diajukan Abbas tersebut sampai kepada Rasulullah Saw, lalu
Rasul membenarkannya”.(HR ath_Thabrani). Hadist ini menjelaskan praktek mudharabah muqayyadah.
ثلاثة فيهن البركة : المقارضة والبيع الى اجل وخلط
البر باالشعير للبيت لا للبيع(ابن ماجه)
“Tiga macam mendapat barakah: muqaradhah/
mudharabah, jual beli secara tangguh,
mencampur gandum
dengan tepung untuk keperluan rumah bukan untuk dijual”. (HR.Ibnu Majah).
عن عبد
الله و عبيد الله ابني عمر أنهما لقيا أبو
موسى ألأشعري باالبصرة منصرفهما من
غزوة نهاوند فتسلفا منه مالا
وابتاعا منه متاعا و قدما به
المدينة فباعاه و ربحا فيه و أراد عمر أخذ رأس المال الربح
كله فقالا لو كان تلف كان ضمنه علينا فكيف لا يكون الربح لنا فقال رجل يا أمير المؤمنين لو جعلته قراضا فقال قد جعلته قراضا وأخذ منهما نصف الربح (أخرجه مالك )
Dari Abdullah dan ‘Ubaidullah, keduanya anak
Umar, bahwa keduanya bertemu dengan Abu Musa Al-Asy’ary di Basrah, setelah
pulang dari perang Nahawand. Keduanya menerima harta dari Abu Musa untuk dibawa
ke Madinah (ibu kota). Di perjalanan keduanya membeli harta benda perhiasan,
lalu menjualnya di Madinah, sehingga keduanya mendapat keuntungan. Umar
memutuskan untuk mengambil modal dan keuntungan semuanya. Tetapi kedua anaknya
berkata,”Jika harta itu binasa, bukankah kami yang bertanggung jawab
menggantinya. Bagaimana mungkin tak ada keuntungan untuk kami?”. Maka berkata
seseorang kepada Umar,“Wahai Amirul Mukminin, alangkah baiknya jika engkau
jadikan harta itu sebagai qiradh”. Umar pun menerima usulan itu. Umar
berkata,”Aku menjadikannya qiradh”. Umar mengambil separoh dari keuntungan (50
% untuk Baitul Mal dan 50% untuk kedua anaknya).
Mudharabah
menurut Ibn Hajar telah ada sejak zaman
Rasulullah, beliau mengetahui dan mengakuinya. Bahkan sebelum diangkat menjadi
Rasul, Muhammad telah melakukan Qiradh/ mudharabah. Muhammad mengadakan
perjalanan ke Syam untuk menjual barang-barang milik Khadijah r.a yang kemudian
menjadi istri beliau.
Disamping
dalil Qur’an dan dalil Hadist di atas, para
ulama juga berlandaskan pada praktik mudharabah yang dilakukan sebagian
sahabat, sedangkan sahabat lain tidak membantahnya. Bahkan harta yang dilakukan
secara mudharabah itu di zaman mereka kebanyakan adalah harta anak yatim. Oleh
sebab itu berdasarkan dalil Qur’an, Hadist, dan praktik para sahabat, para
ulama fiqih menetapkan bahwa akad mudharabah apabila telah memenuhi rukun dan
syaratnya maka hukumnya adalah boleh.
C.
Rukun
dan Syarat Mudharabah
Rukun dan syarat-syarat sah mudharabah adalah
sebagai berikut:
1.
Adanya dua pelaku atau lebih, yaitu investor (pemilik modal) dan
pengelola (mudharib). Kedua belah pihak yang melakukan akad disyaratkan mampu
melakukan tasharruf atau cakap hukum, maka dibatalkan akad anak-anak yang masih
kecil, orang gila, dan orang-orang yang berada di bawah pengampuan.
2.
Modal
atau harta pokok (mal), syarat-syaratnya yakni:
A.
Berbentuk
uang
ayoritas ulama berpendapat bahwa modal harus
berupa uang dan tidak boleh barang. Mudharabah dengan barang dapat menimbulkan
kesamaran, karena barang pada umumnya bersifat fluktuatif. Apabila barang itu
bersifat tidak fluktuatif seperti berbentuk emas atau perak batangan (tabar),
para ulama berbeda pendapat. Imam malik dalam hal ini tidak tegas melarang atau
membolehkan. Namun para ulama mazhab Hanafi membolehkannya dan nilai barang
yang dijadikan setoran modal harus disepakati pada saat akad oleh mudharib dan
shahibul mal.
Contohnya, seorang memiliki sebuah mobil yang
akan diserahkan kepada mudharib (pengelola modal). Ketika akad kerja sama
tersebut disepakati, maka mobal tersebut wajib ditentukan nilai mata uang saat
itu, misalnya Rp90.000.000, maka modal mudharabah tersebut adalah Rp90.000.000.
B.
Jelas
jumlah dan jenisnya
Jumlah modal harus diketahui dengan jelas agar dapat
dibedakan antara modal yang diperdagangkan dengan laba atau keuntungan dari
perdagangan tersebut yang akan dibagikan kepada dua belah pihak sesuai dengan
perjanjian yang telah disepakati.
C.
Tunai
Hutang tidak dapat dijadikan modal mudharabah. Tanpa
adanya setoran modal, berarti shahibul mal tidak memberikan kontribusi apapun
padahal mudharib telah bekerja. Para ulama syafi’i dan Maliki melarang hal itu
karena merusak sahnya akad. Selain itu hal ini bisa membuka pintu perbuatan
riba, yaitu memberi tangguh kepada si berhutang yang belum mampu membayar
hutangnya dengan kompensasi si berpiutang mendapatkan imbalan tertentu. Dalam
hal ini para ulama fiqih tidak berbeda pendapat.
D.
Modal diserahkan
sepenuhnya kepada pengelola secara langsung.
Apabila tidak diserahkan
kepada mudharib secara langsung dan tidak diserahkan sepenuhnya
(berangsur-angsur) dikhawatirkan akan terjadi kerusakan pada modal, yaitu
penundaan yang dapat mengganggu waktu mulai bekerja dan akibat yang lebih jauh
mengurangi kerjanya secara maksimal. Apabila modal itu tetap dipegang sebagiannya
oleh pemilik modal, dalam artian tidak diserahkan sepenuhnya, maka menurut
ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah, akad mudharabah tidak sah.
Sedangkan ulama Hanabilah menyatakan boleh saja sebagian modal itu berada di
tangan pemilik modal, asal tidak mengganggu kelancaran usahanya.
3.
Keuntungan, syarat-syaratnya yakni:
A. Proporsi jelas.
Keuntungan yang akan menjadi milik pengelola dan pemilik modal harus jelas
persentasenya, seperti 60% : 40%, 50% : 50% dan sebagainya
menurut kesepakatan bersama.
B. Keuntungan harus dibagi
untuk kedua belah pihak, yaitu investor (pemilik modal) dan pengelola
(mudharib).
C. Break Even Point (BEP)
harus jelas, karena BEP menggunakan sistem revenue sharing dengan profit
sharing berbeda. Revenue sharing adalah pembagian keuntungan yang dilakukan
sebelum dipotong biaya operasional, sehingga bagi hasil dihitung dari
keuntungan kotor/ pendapatan. Sedangkan profit sharing adalah pembagian
keuntungan dilakukan setelah dipotong biaya operasional, sehingga bagi hasil
dihitung dari keuntungan bersih.
4.
Ijab Qobul. Melafazkan ijab dari pemilik modal, misalnya
aku serahkan uang ini kepadamu untuk dagang jika ada keuntungan akan dibagi dua
dan kabul dari pengelola.
4. Murabahah
1. Pengertian Murabahah
Kata Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu (الرِبْحُ) yang berarti kelebihan dan tambahan
(keuntungan). Sedangkan menurut istilahMurabahah adalah salah satu bentuk jual beli
barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam pengertian lain Murabahah adalah transaksi penjualan barang
dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang
disepakati oleh penjual dan pembeli. Pembayaran atas akad jual beliMurabahah dapat dilakukan secara tunai maupun
kredit. Hal inilah yang membedakan Murabahah dengan jual beli lainnya adalah
penjual harus memberitahukan kepada pembeli harga barang pokok yang dijualnya
serta jumlah keuntungan yang diperoleh.
2. Landasan Syariah Murabahah
a. Al-Qur’an
Firman Allah QS. An-Nissa’ : 29
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ
بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu.”
Firman Allah QS. Al-Baqarah : 275
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya :
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
b. Al-Hadits
Dari Abu Sa'id Al-Khudri bahwa
Rasullulah Saw bersabda:
“Sesungguhnya jual beli itu harus
dilakukan suka sama suka.” (HR. al-Baihaqi, Ibnu Majah dan Shahi menurut Ibnu
Hibban)
Dari Suhaib ar-Rumi r.a bahwa Rasulullah Saw
bersabda:
“Tiga hal yang didalamnya
terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh,muqaradhah (mudharabah), dan mencampur
gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu
Majah)
3. Rukun dan Syarat Murabahah
Rukun Murabahah yaitu :
a. Transaktor (pihak yang bertransaksi).
b. Obyek murabahah.
c. Ijab dan kabul.
Syarat Murabahah yaitu :
a. Penjual memberitahu biaya modal kepada
nasabah.
b. Kontrak pertama harus sah sesuai
dengan rukun yang ditetapkan.
c. Kontrak harus bebas riba.
d. Penjual harus menjelaskan kepada
pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian.
e. Penjual harus menyampaikan semua hal
yang berkaitan dengan pembelian, misalnya: jika pembelian dilakukan secara
utang. Jadi di sini terlihat adanya unsur keterbukaan.
Secara prinsip, jika syarat dalam
(a), (d) dan (e) tidak dipenuhi, pembeli memiliki pilihan :
a. Melanjutkan
pilihan seperti apa adanya.
b. Kembali kepada penjual dan menyatakan
ketidaksetujuan atas barang yang dijual.
c. Membatalkan
kontrak.
4. Konsep Murabahah dalam Perbankan
Syariah
a. Pengertian dan Makna
Dalam daftar istilah himpunan
fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional) dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan murabahah adalah menjual suatu barang dengan
menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga
yang lebih sebagai laba.
Murabahah merupakan bagian terpenting dari jual beli dan prinsip akad ini
mendominasi pendapatan bank dari produk-produk yang ada di semua bank Islam. Dalam Islam, jual beli sebagai sarana tolong
menolong antara sesama umat manusia yang diridhai oleh Allah Swt.
Jual beli Murabahah yang dilakukan lembaga keuangan
syariah dikenal dengan nama-nama
sebagai berikut:
1.
al-Murabahah lil Aamir bi Asy-Syira’.
2.
al-Murabahah lil Wa’id bi Asy-Syira’.
3.
Bai’ al-Muwa’adah.
4.
al-Murabahah al-Mashrafiyah.
5.
al-Muwaa’adah ‘Ala al-Murabahah.
Sedangkan di negara Indonesia
dikenal dengan jual beli Murabahah atauMurabahah Kepada Pemesanan Pembelian (KPP).
b. Manfaat Murabahah kepada Perbankan Syariah
Sesuai dengan sifat bisnis (tijarah),
transaksi Murabahah memiliki beberapa manfaat, demikian
juga resiko yang harus diantisipasi.
Murabahah memberi banyak manfaat kepada bank syariah. Salah satunya adalah
adanya keuntungan yang muncul dari selisih harga beli dari penjual dengan harga
jual kepada nasabah. Selain itu, sistem Murabahah juga sangat sederhana. Hal tersebut
memudahkan penanganan administrasinya di bank syariah.
Diantara resiko yang harus
diantisipasi antara lain sebagai berikut :
a. Default atau kelalaian; nasabah sengaja tidak
membayar angsuran.
b. Fluktuasi harga komparatif. Ini
terjadi bila harga suatu barang di pasar naik setelah bank membelikannya untuk
nasabah. Bank tidak bisa mengubah harga jual beli tersebut.
c. Penolakan nasabah; barang yang dikirim
bisa saja ditolak oleh nasabah karena berbagai sebab. Bisa jadi karena rusak
dalam perjalanan sehingga nasabah tidak mau menerimanya. Karena itu sebaiknya
dilindungi dengan asuransi. Kemungkinan lain karena nasabah merasa spesifikasi
barang tersebut berbeda dengan yang ia pesan. Bila bank telah menandatangani
kontrak pembelian dengan penjualnya, barang tersebut akan menjadi milik bank.
Dengan demikian, bank mempunyai resiko untuk menjualnya kepada pihak lain.
d. Dijual; karena Murabahah bersifat jual beli dengan utang,
maka ketika kontrak ditandatangani, barang itu menjadi milik nasabah. Nasabah
bebas melakukan apapun terhadap aset miliknya tersebut, termasuk untuk
menjualnya. Jika demikian, resiko untuk default akan besar.
Secara umum, aplikasi perbankan
dari Murabahah dapat digambarkan dalam skema berikut
ini :
Dari keterangan di atas dapat
disimpulkan bahwa jual beli murabahah KPP ini terdiri dari:
1. Ada tiga pihak yang terkait yaitu:
a. Pemohon atau pemesan barang dan ia
adalah pembeli barang dari lembaga keuangan.
b. Penjual barang kepada lembaga
keuangan.
c. Lembaga keuangan yang memberi barang
sekaligus penjual barang kepada pemohon atau pemesan barang.
2. Ada dua akad transaksi yaitu:
a. Akad dari penjual barang kepada
lembaga keuangan.
b. Akad dari lembaga keuangan kepada
pihak yang minta dibelikan (pemohon).
3. Ada tiga janji yaitu:
a. Janji dari lembaga keuangan untuk
membeli barang.
b. Janji mengikat dari lembaga keuangan
untuk membali barang untuk pemohon.
c. Janji mengikat dari pemohon (nasabah)
untuk membeli barang tersebut dari lembaga keuangan.
5. Muzara’ah
dan Mukhabarah
A. Pengertian
Muzara’ah dan Mukhabarah
Dalam bahasa Indonesia arti dari
muzara’ah dan mukhabarah adalah pertanian. Menurut Taqiyyudin yang mengungkap
pendapat Al-Qadhi Abu Thayib, muzara’ah dan mukhabarah mempunyai satu
pengertian. Walaupun mempunyai satu pengertian tetapi kedua istilah tersebut mempunyai
dua arti yang pertamatharh al-zur’ah (melemparkan tanaman),
maksudnya adalah modal (al-hadzar
).Makna yang pertama adalah makna yang majaz dan makna yan kedua adalah
makna yang hakiki.
Muzara’ah dan mukhabarah memiliki
makna yang berbeda, pendapat tersebut dikemukakan oleh al-Rafi dan al-Nawawi.
Sedangkan menurut istilah definisi para ulama yang dikemukakan oleh Abd
al-Rahman al-Zaziri pun berbeda Secara terminologi, terdapat beberapa definisi
para ulama, menurut ulama Malikiyah berarti perserikatan dalam pertanian, ulama
Hanabilah mengartikannya sebagai penyerahan tanah pertanian kepada seorang
petani untuk digarap dan hasilnya dibagi berdua (paroan). Sedangkan Imam
Syafi’I mendifinisikannya sebagai pengolahan tanah oleh petani dengan imbalan
hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian disediakan penggarap tanah 2 atau
lebih dikenal dengan istilah al-Mukhabarah. Sehingga dapat disimpulkan bahawa
arti dari Muzara’ah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau
ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat).
Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah.
Mukhabarah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan.
Seperti yang telah disebutkan bahwa munculnya pengertian muzara’ah dan mukhabarah dengan ta’rif yang berbeda tersebut karena adanya ulama yang membedakan antara arti muzara’ah dan mukhabarah, yaitu Imam Rafi’I berdasar dhahir nash Imam Syafi’i. Sedangkan ulama yang menyamakan ta’rif muzara’ah dan mukhabarah diantaranya Nawawi, Qadhi Abu Thayyib, Imam Jauhari, Al Bandaniji. Mengartikan sama dengan memberi ketetntuan: usaha mengerjakan tanah (orang lain) yang hasilnya dibagi.
Mukhabarah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan.
Seperti yang telah disebutkan bahwa munculnya pengertian muzara’ah dan mukhabarah dengan ta’rif yang berbeda tersebut karena adanya ulama yang membedakan antara arti muzara’ah dan mukhabarah, yaitu Imam Rafi’I berdasar dhahir nash Imam Syafi’i. Sedangkan ulama yang menyamakan ta’rif muzara’ah dan mukhabarah diantaranya Nawawi, Qadhi Abu Thayyib, Imam Jauhari, Al Bandaniji. Mengartikan sama dengan memberi ketetntuan: usaha mengerjakan tanah (orang lain) yang hasilnya dibagi.
B. Dasar
Hukum Muzara’ah dan Mukhabarah
Dasar hukum yang digunakan para
ulama dalam menetapkan hukum mukhabarah dan muzara’ah adalah sebuah hadist yang
diriwayatkan olehBukhari dan Muslim dari Abu Abbas ra.
Artinya:
“ sesungguhnya Nabi SAW.
Menyatakan, bahwa beliau tidak mengharamkan bermuzara’ah, bahkan beliau
menyuruhnya supaya yang sebagian menyayangi sebagian yang lain, dengan katanya,
barang siapa yang memiliki tanah maka hendaklah ditanaminya atau diberikan
faedahnya kepada saudaranya, bila ia tidak mau maka boleh ditahan saja tanah
itu.
عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيْجِ قَالَ كُنَّااَكْثَرَاْلاَنْصَارِ حَقْلاً فَكُنَّا نُكْرِىاْلاَرْضَ عَلَى اَنَّ لَنَا هَذِهِ فَرُبَمَا أَخْرَجَتْ هَذِهِ وَلَمْ تُخْرِجْ هَذِهِ فَنَهَانَاعَنْ ذَلِكَ
Artinya :
Berkata Rafi’ bin Khadij: “Diantara Anshar yang paling banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian tanah untuk mereka yang mengerjakannya, kadang sebagian tanah itu berhasil baik dan yang lain tidak berhasil, maka oleh karenanya Raulullah SAW. Melarang paroan dengan cara demikian (H.R. Bukhari)
عَنْ اِبْنِ عُمَرَاَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَرْطِ مَايَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ اَوْزَرْعٍ (رواه مسلم)
Artinya:
Dari Ibnu Umar: “Sesungguhna Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun (palawija)” (H.R Muslim)
Menurut Al-Syafi’iyah, haram
hukumnya melakukan muzara’ah ia beralasan dengan hadis sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Muslim dari Tsabit Ibn al-Dhahak
Artinya:
“Bahwa Rasulullah Saw, telah
melarang bermuzara’ah dan memerintahkan sewa menyewa dan Rasulullah Saw
bersabda itu tidak mengapa.”
Diriwayatkan oleh Muslim dan Thawus
ra.
Artinya:
“ sesungguhnya Thawus ra.
Bermukhabarah, Umar ra. Berkata; dan aku berkata kepadanya; ya Abdurahman,
kalau engkau tinggalkan mukhabarah ini, nanti mereka mengatakan bahwa Nabi
melarangnya. Kemudian Thawus berkata; telah menceritakan kepadaku orang yang
sungguh – sungguh mengetahui hal itu, yaitu Ibnu Abbas, bahwa Nabi SAW, tidak
melarang mukhabarah, hanya beliau berkata bila seseorang memberi menfaat kepada
saudaranya, hal itu lebih baik daripada mengambil manfaat dari saudaranya
dengan yang telah dimaklumi.”
Menurut
pengarang kitab Al-minhaj, bahwa Mukhabarah yaitu mengerjakan tanah ( menggarap
ladang atau sawah ) dengan mengambil sebagian dari hasilnya, sedangkan benihnya
dari pekerja dan tidak boleh pula bermuzaraah, yaitu mengelola tanah yang
benihnya dari pengolaan tanah. Pendapat ini beralasan kepada
beberapa hadis shahih, antara lain hadis dari Tsabit bin Dhahak.
Demikian dikemukakan dasar hukum
muzaraah dan mukhabarah, diketahui pula pendapat para ulama, ada yang
mengharamkan kedua-duanya, seperti pengarang kitab Al-Manhaj. Ada yang
mengharamkan muzaraah saja, seperti al-syafi’I berpendapat bahwa akad
al-muzara’ah sah apabila muzara’ah mengikut kepada akad musaqah. Misalnya,
apabila terjadi akad musaqah
pengelolaan perkebunan dengan
pengairan, kemudian ada tanah kosong diantara
pepohonan yang tidak mungkin
tidak akan terkena pengairan dari musaqah atau tanah kosong di salah satu sudut
area tanah itu, maka tanah itu boleh dimanfaatkan untuk muzara’ah, artinya akad
al-muzara’ah ini tidak berdiri sendiri tetapi mengikut pada akad musaqah, bila
tidak demikian maka akad al-muzara’ah tidak boleh. Berdasarkan beberapa hadits
di atas ada ulama melarang
paroan tanah ataupun ladang beralasan pada Hadits yang diriwayatkan oleh
Bukhari tersebut di atas ulama yang lain berpendapat tidak ada larangan untuk
melakukan muzara’ah ataupun mukhabarah. Pendapat ini dikuatkan oleh Nawawi,
Ibnu Mundzir, dan Khatabbi, mereka mengambil alsan Hadits Ibnu Umar yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim di atas, adapun Hadits yang melarang tadi
maksudnya hanya apabila ditentukan penghasilan dari sebagian tanah, mesti
kepunyaan salah seorang diantara mereka. Karena memang kejadian di masa dahulu,
mereka memarohkan tanah dengan syarat dia akan mengambil penghasilan dari
sebagian tanah yang lebih subur keadaan inilah yang dilarang oleh Nabi Muhammad
SAW. Dalam Hadits yang melarang itu, karena pekerjaan demikian bukanlah dengan
cara adil dan insaf. Juga pendapat ini dikuatkan orang banyak.
C. Rukun-rukun
dan Syarat-syaratnya
Rukun muzara’ah menurut Hanafiah
ialah akad, yaitu ijab dan qabul antara pemilik dan pekerja. Secara rinci rukun
muzara’ah menurut Hanafiyah adalah; tanah, perbuatan pekerja, modal dan
alat-alat untuk menanam.
Syarat-syaratnya
1. Syarat yang berkaitan dengan aqidain,
yaitu harus berakal
2. Berkaitan dengan tanaman, yaitu adanya
penentuan macam tanaman yang akan ditanam.
3. Hal yang berkaitan dengan perolehan
hasil tanaman
a. Bagian masing-masing harus disebutkan
jumlahnya.
b. Hasil adalah milik bersama
c. Bagian amil dan malik adalah dari satu
jenis barang yang sama.
d. Bagian kedua belah pihak sudah dapat
diketahui
e. Tidak diisyaratkan bagi salah satu
penambahan yang ma’lum
4. Hal yang berkaitan dengan tanah yang
akan ditanami
a. Tanah tersebut dapat ditanami
b. Tanah tersebut dapat diketahui
batas-batasnya
5. Hal yang berkaitan dengan waktu
a. Waktunya telah ditentukan
b. Waktu tersebut memungkinkan untuk
menanam tanaman yang dimaksud.
6. Hal yang berkaitan dengan peralatan
yang akan digunakan untuk menanam, alat-alat tersebut disyaratkan berupa hewan
atau yang lainnya dibebankan pada pemilik tanah.
D. Berakhirnya Akad Al-Muzara’ah
Penulis alawahir berkata,“Akad muzara’ah bersifat
mengikat, menurut ijma’, berdasarkan kaidah luzum (kemengikatan) yang diambil
dari (Qs. Maidah ayat:1)
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.
Oleh karena itu, akadnya tidak akan
gugur kecuali dengan taqayul (saling melepaskan diri dari akad) atau dengan
persyaratan khiya, atau jika tanah sudah tidak produktif lagi. Akad muzara’ah
tidak akan gugur dengan kematian salah satu dari kedua pelaku akad,
sebagaimana akad-akad lain yang bersifat mengikat. Jika pemilik tanah
atau pekerja meninggal, maka ahli warisnya yang menggantikan.
A. Pengertian Musaqah
Musaqah diambil dari kata al-saqaa yaitu seseorang
bekerja pada pohon tamar, anggur (mengurusnya), atau pohon-pohon yang lainnya
supaya mendatangkan kemaslahatan dan mendapatkan bagian tertentu dari hasil
yang diurus sebagai imbalan.
Musaqah (pengairan) adalah sejenis syirkah
(kerja sama) untuk memperpleh hasil pohon, yaitu pemilik dan pekerja melakukan
akad untuk itu dengan hasil yang dibagi secara musya’ (bersama-sama).
Musaqah ialah pemilik kebun yang memberikan kebunnya kepada
tukang antara keduanya, menurut perjanjian keduanya sewaktu akad.
1.
Rukun dan Syarat Musaqah
Rukun musaqah menurut ulama syafi’iyah ada lima berikut:
1.
Shigat
2.
Dua orang atau pihak yang berakad (al-’aqidani)
3.
Kebun atau semua pohon yang berbuah
4.
Masa kerja, hendaknya ditentukan lama waktu yang akan dikerjakan
5.
Buah, hendaknya ditentukan bagian masing-masing (yang punya kebun
dan yang bekerja di kebun).
B. Dasar
Hukum Musaqah
Kata “musaqah” tidak perlu
digunakan di dalam al-Qur’an maupun Sunnah, menggali hukum-hukumnya dari
berbagai nash syariat, kemudian menggunakan istilah “Musaqah” untuk menyebut
muamalah ini karena pohon sangat memerlukan air dan pengairan.Akad musaqah
bersifat mengikat, maka masing dari kedua pihak tidak dapat memfasahkannya
kecuali dengan kesepakatan pihak lain. Penulis al-jawahir berkata, “tidak ada perbedaan pendapat
yang aku temukan dalam masalah ini karena akhidah dan dalil umum: aufu
bil ‘uqud (penuhilah
akad-akad itu)”.
C. Masa berakhirnya Musaqah
Akad musaqah akan berakhir apabila :
a. Telah habis batas waktu yang telah disepakati bersama.
b. Petani penggarap tidak sanggup lagi bekerja.
c. Meninggalnya salah satu dari yang melakukan akad.
D. Hikmah Musaqah
Dapat terpenuhinya kemakmuran yang merata.
1.
Terciptanya saling memberi manfaat antara kedua belah pihak (si
pemilik tanah dan petani penggarap).
2.
Bagi pemilik tanah merasa terbantu karena kebunnya dapat terawat
dan menghasilkan.
3.
Disamping itu kesuburan tanahnya juga dapat dipertahankan.